2010/11/22

akhlak dan macam-macam akhlak husnul

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akhlak adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau individu baik itu akhlak baik maupun akhlak buruk. Akhlak merupakan komponen penting dan berkedudukan tinggi dalam islam karena rasullah menyatakan dalam sebuah hadist
بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ
(Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).
Begitu penting akhlak sehingga rasullah di utus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak yang mulia pada kita, akhlak merupakan suatu tingkah laku dalam diri kita baik itu maupun buruk , dengan akhlak seseorang dapat menjadi bahagia dan juga menjadi sengsara, karena ada hadist menyatakan Rasulullah saw bersabda:
حُسْنُ الْخُلُقِ يُثَبِّتُ الْمَوَدَّةَ
(Akhlak yang terpuji dapat melanggengkan kecintaan). Jelas bilamana kita memiliki akhlak yang terpuji maka kita akan bahagia.
Akhlak memiliki kedudukan yang strategis dalam kita bertindak, karena akhlak merupakan yang terpenting dalam jiwa kita.
B. PEMBAHASAN MAKALAH
Adapun yang kami bahas dalam makalah ini sebagai berikut :
 Pengertian Akhlak
 Urgensi akhlak dalam islam
 Macam-Macam Akhlak
• Akhlak Hasanah
• Akhlak Karimah
• Akhlak Adhimah

C. TUJUAN MAKALAH
Tujuan makalah ini di buat
 mengetahui dan memahami pengertian akhlak secara koperehensif ( menyeluruh ).
 Mengetahuidan memahami urgensi akhlak dalam islam
 mengetahui dan mengaplikasi akhlak baik pada kehidupan sehari-hari.


















BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AKHLAK
1. Akhlak Menurut Bahasa
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dalam Bahasa Arab kata akhlak (akhlaq) diartikan sebagai tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama . Dan ada juga mengungkapkan akhlak menurut bahasa adalah berasal dari bahasa arab dengan kosa kata al-khulq berarti kejadian .
Pada sumber lain menyatakan akhlak menurut bahasa adalah Dilihat dari sudut etimologi perkataan “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) berasal dari bahasa Arab jama’ dari “ Khuluqun “ ( خُلُقٌ ) yang menurut lughat diartikan adat kebiasaan ( al-adat ), perangai, tabi’at ( al-sajiyyat ), watak ( al-thab ), adab / sopan santun ( al-muru’at ), dan agama ( al-din ) . Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “ Khalqun “ ( خَلْقٌ ) yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan “ Khaliq “ ( خاَلِقٌ ) yang berarti pencipta dan “ makhluq “ ( مَخْلُوْقٌ ) yang berarti yang di ciptakan dan dari sinilah asal mula perumusan ilmu akhlak yang merupakan koleksi ugeran yang memungkinkan timbulnya hubungan yang baik antara Makhluk dengan Khaliq dan antara Makhluk dengan makhluk .
Bahkan dalam kitab ” al-Mursyid al-Amin Ila Mau’idhah al-Mu’min ” telah dijelaskan perbedaan antara kata ” al-Khalqu ” ( اَلْخَلْقُ ( dengan kata ” al-Khuluqu ” ( اَلْخُلُقُ ( sebgai berikut :
يُقَالُ : فُلاَنَ حَسَنِ الْخَلْقِ وَالْخُلُقِ : اَى حَسَنُ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ, فَحُسْنُ الظَّاهِرِ هُوَ الْجَمَالُ كَمَا عَرَفْتُ, وَ حَسَنُ الْبَاطِنِ هُوَ غَلَبَةُ الصِّفَاتِ الْجَمِيْدَةِ عَلَى الْمَذْمُوْمَةِ
Artinya : “ Dikatakan : Fulan itu baik kejadiannya dan baik budi pekertinya ” , maksudnya baik lahir dan batinnya. Yang dimaksud ” baik lahir ” yaitu baik rupa atau rupawan, sedang yang dimaksud ” baik batin ” yaitu sifat-sifat kebaikan ( terpuji ) yang menghalalkan atas sifat-sifat tercela ” .
Jadi jelas bahwa kata ” al-Khalqu ” ( اَلْخَلْقُ ( itu mengandung arti kejadian yang bersifat lahiriah seperti wajah seseorang yang bagus atau yang jelek. Sedangkan kata ” al-Khuluqu ” ( اَلْخُلُقُ ( atau jamak dari “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) itu mengandung arti budi pekerti atau pribadi yang bersifat rohaniah seperi sifat-sifat terpuji atau sifat-sifat tercela . Bahkan Ibnu Athir dalam kitabnya “ An-Nihayah “ telah menerangkan bahwa : “ Hakikat makna khuluqun ( خُلُقٌ) itu ialah gambaran batin manusia yang tepat ( yaitu jiwa dan sifat-sifatnya ), sedang makna khalqun ( خَلْقٌ ) merupakan gambaran bentuk luarnya ( raut muka, warna kulit, tinggi rendah tubuhnya, dan sebagainya ) “ .
Dalam bahasa Yunani pengertian “ Khuluqun “ ( خُلُقٌ ) ini dipakai kata ethicos atau ethos, artinya adat kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan, kemudian kata ethicos ini berubah menjadi ethika ( memakai h ) atau ” etika ” ( tanpa h ) dalam istilah Indonesia . Sedangkan dalam pengertian sehari-hari “ Khuluqun “ ( خُلُقٌ ) umumnya disamakan artinya dengan arti kata “ budi pekerti “ atau “ kesusilaan “ atau “ sopan santun “ . Angkatan kata “ budi pekerti “, dalam bahasa Indonesia, merupakan kata majemuk dari kata “ budi “ dan “ pekerti “ . Perkataan “ budi “ berasal dari bahasa Sansekerta, bentuk isim fa’il atau alat, yang berarti “ yang sadar “ atau “ yang menyadarkan “ atau “ alat kesadaran “ . Bentuk mashdarnya ( momenverbal ) budh yang berarti “ kesadaran “ . Sedang bentuk maf’ulnya ( obyek ) adalah budha, artinya “ yang disadarkan “ . Pekerti, berasal dari bahasa Indonesia sendiri, yang berarti “ kelakuan “ .
Kata “ budi “ juga dapat diartikan sebagai “ akal “, yaitu alat batin untuk menimbang dan menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. “ Budi “ juga dapat diartikan sebagai “ tabi’at “ , “ watak “ , “ perangai “ dan sebagainya. “ Budi “ adalah hal yang berhubungan dengan kesadaran yang didorong oleh pemikiran, yang juga disebut karakter. “ Pekerti “ dapat diartikan sebagai perbuatan. “ Pekerti “ adalah apa yang terlihat pada manusia karena didorong oleh perasaan hati yang disebut juga behaviour. Berkaitan dengan akhlak, dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda dikenal juga istilah “ tata krama “ yang juga dimaksudkan sebagai “ sopan santun “ .
Dengan perumusan pengertian “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ ) di atas muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi adanya hubungan baik antara Khaliq ( خاَلِقٌ ) yang berati pencipta dengan makhluq ( مَخْلُوْقٌ ) yang berarti yang diciptakan secara timbal balik, kemudian disebut sebagai hablum minallah ( حَبْلٌ مِنَ اللَّهِ ). Dari produk hablum minallah ( حَبْلٌ مِنَ اللَّهِ ) yang verbal ini, maka lahirlah pola hubungan antar sesama manusia disebut dengan hablum minannas ( النّاسِ حَبْلٌ مِنَ ) .
Jadi berdasarkan sudut pandang etimologi definisi “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) dalam pengertian sehari-hari disamakan dengan “ budi pekerti “ , kesusilaan, sopan santun, tata karma ( versi bahasa Indonesia ) sedang bahasa Inggrisnya disamakan dengan istilah moral atau ethic. Begitupun dalam bahasa Yunani istilah “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ ) dipergunakan istilah ethos atau ethikos atau etika ( tanpa memakai huruf H ) yang mengandung arti “ Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik “ . Dan etika itu adalah sebuah ilmu bukan sebuah ajaran. Sebagaimana dalam kitab “ Da’iratul Ma’arif “ dikatakan bahwa :
اَلأَخْلَاقُ هِيَ صِفَاتُ اْلاِنْسَا نِ َالأَْ دَابِيَّةِ
Artinya : “ Akhlak ialah segala sifat manusia yang terdidik “ .
Memahami ungkapan tersebut diatas dapat dimengerti bahwa “ Akhlak “ (أَخْلاَقٌ ) adalah sifat ( potensi ) yang dibawa setiap manusia sejak lahir : artinya, sifat ( potensi ) tersebut sangat tergantung dari cara pembinaan dan pembentukannya. Apabila pengaruhnya itu positif maka outputnya adalah akhlak mulia dan sebaliknya apabila pembinaannya itu negatif, yang terbentuk adalah akhlak maz mumah ( tercela ) . Sebagaimana firman allah Swt berfirman dalam surat ( 91 ) Asy Syam ayat 8 yang berbunyi :
فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْۈهَا
Artinya : “ maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu ( jalan ) kefasikan dan ketakwaan “ .
Dilihat dari sudut etimologi perkataan “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) berasal dari bahasa Arab jama’ dari “ Khuluqun “ ( خُلُقٌ ) yang menurut lughat diartikan adat kebiasaan ( al-adat ), perangai, tabi’at ( al-sajiyyat ), watak ( al-thab ), adab / sopan santun ( al-muru’at ), dan agama ( al-din ) . Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “ Khalqun “ ( خَلْقٌ ) yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan “ Khaliq “ ( خاَلِقٌ ) yang berarti pencipta dan “ makhluq “ ( مَخْلُوْقٌ ) yang berarti yang di ciptakan dan dari sinilah asal mula perumusan ilmu akhlak yang merupakan koleksi ugeran yang memungkinkan timbulnya hubungan yang baik antara Makhluk dengan Khaliq dan antara Makhluk dengan makhluk . Bahkan dalam kitab ” al-Mursyid al-Amin Ila Mau’idhah al-Mu’min ” telah dijelaskan perbedaan antara kata ” al-Khalqu ” ( اَلْخَلْقُ ( dengan kata ” al-Khuluqu ” ( اَلْخُلُقُ ( sebgai berikut :
يُقَالُ : فُلاَنَ حَسَنِ الْخَلْقِ وَالْخُلُقِ : اَى حَسَنُ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ, فَحُسْنُ الظَّاهِرِ هُوَ الْجَمَالُ كَمَا عَرَفْتُ, وَ حَسَنُ الْبَاطِنِ هُوَ غَلَبَةُ الصِّفَاتِ الْجَمِيْدَةِ عَلَى الْمَذْمُوْمَةِ
Artinya : “ Dikatakan : Fulan itu baik kejadiannya dan baik budi pekertinya ” , maksudnya baik lahir dan batinnya. Yang dimaksud ” baik lahir ” yaitu baik rupa atau rupawan, sedang yang dimaksud ” baik batin ” yaitu sifat-sifat kebaikan ( terpuji ) yang menghalalkan atas sifat-sifat tercela ” .
Jadi jelas bahwa kata ” al-Khalqu ” ( اَلْخَلْقُ ( itu mengandung arti kejadian yang bersifat lahiriah seperti wajah seseorang yang bagus atau yang jelek. Sedangkan kata ” al-Khuluqu ” ( اَلْخُلُقُ ( atau jamak dari “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) itu mengandung arti budi pekerti atau pribadi yang bersifat rohaniah seperi sifat-sifat terpuji atau sifat-sifat tercela . Bahkan Ibnu Athir dalam kitabnya “ An-Nihayah “ telah menerangkan bahwa : “ Hakikat makna khuluqun ( خُلُقٌ) itu ialah gambaran batin manusia yang tepat ( yaitu jiwa dan sifat-sifatnya ), sedang makna khalqun ( خَلْقٌ ) merupakan gambaran bentuk luarnya ( raut muka, warna kulit, tinggi rendah tubuhnya, dan sebagainya ) “ .
Dalam bahasa Yunani pengertian “ Khuluqun “ ( خُلُقٌ ) ini dipakai kata ethicos atau ethos, artinya adat kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan, kemudian kata ethicos ini berubah menjadi ethika ( memakai h ) atau ” etika ” ( tanpa h ) dalam istilah Indonesia . Sedangkan dalam pengertian sehari-hari “ Khuluqun “ ( خُلُقٌ ) umumnya disamakan artinya dengan arti kata “ budi pekerti “ atau “ kesusilaan “ atau “ sopan santun “ . Angkatan kata “ budi pekerti “, dalam bahasa Indonesia, merupakan kata majemuk dari kata “ budi “ dan “ pekerti “ . Perkataan “ budi “ berasal dari bahasa Sansekerta, bentuk isim fa’il atau alat, yang berarti “ yang sadar “ atau “ yang menyadarkan “ atau “ alat kesadaran “ . Bentuk mashdarnya ( momenverbal ) budh yang berarti “ kesadaran “ . Sedang bentuk maf’ulnya ( obyek ) adalah budha, artinya “ yang disadarkan “ . Pekerti, berasal dari bahasa Indonesia sendiri, yang berarti “ kelakuan “ .
Kata “ budi “ juga dapat diartikan sebagai “ akal “, yaitu alat batin untuk menimbang dan menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. “ Budi “ juga dapat diartikan sebagai “ tabi’at “ , “ watak “ , “ perangai “ dan sebagainya. “ Budi “ adalah hal yang berhubungan dengan kesadaran yang didorong oleh pemikiran, yang juga disebut karakter. “ Pekerti “ dapat diartikan sebagai perbuatan. “ Pekerti “ adalah apa yang terlihat pada manusia karena didorong oleh perasaan hati yang disebut juga behaviour. Berkaitan dengan akhlak, dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda dikenal juga istilah “ tata krama “ yang juga dimaksudkan sebagai “ sopan santun “ .
Menurut para ahli masa lalu ( al-qudama’ ), akhlak adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan sesuatu perbuatan secara spontan, tanpa pemikiran atau pemaksaan. dan sering pula yang dimaksud akhlak adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik atau buruk atau dengan kata lain akhlak adalah potensi yang tertanam dalam jiwa seseorang yang mampu mendorongnya untuk berbuat baik dan buruk tanpa di dahului oleh pertimbangan akal dan emosi, maksudnya ialah perbuatan itu sudah menjadi kebiasaaan sehingga menjadi kepribadian . Bahkanah akhlak juga disebut ilmu tingkah laku / perangai ( ilm al-suluk ), atau tahzib al-akhlak ( falsafat akhlak ), atau al-hikmat al-amaliyyat, atau al-hikmat al-hulukiyyat. Yang dimaksud dengan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang keutamaan-keutamaan dan cara memperolehnya, agar jiwa menjadi bersih dan pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa untuk mensucikannya .
Dengan perumusan pengertian “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ ) di atas muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi adanya hubungan baik antara Khaliq ( خاَلِقٌ ) yang berati pencipta dengan makhluq ( مَخْلُوْقٌ ) yang berarti yang diciptakan secara timbal balik, kemudian disebut sebagai hablum minallah ( حَبْلٌ مِنَ اللَّهِ ). Dari produk hablum minallah ( حَبْلٌ مِنَ اللَّهِ ) yang verbal ini, maka lahirlah pola hubungan antar sesama manusia disebut dengan hablum minannas ( النّاسِ حَبْلٌ مِنَ ) .
Jadi berdasarkan sudut pandang etimologi definisi “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) dalam pengertian sehari-hari disamakan dengan “ budi pekerti “ , kesusilaan, sopan santun, tata karma ( versi bahasa Indonesia ) sedang bahasa Inggrisnya disamakan dengan istilah moral atau ethic. Begitupun dalam bahasa Yunani istilah “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ ) dipergunakan istilah ethos atau ethikos atau etika ( tanpa memakai huruf H ) yang mengandung arti “ Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik “ . Dan etika itu adalah sebuah ilmu bukan sebuah ajaran. Sebagaimana dalam kitab “ Da’iratul Ma’arif “ dikatakan bahwa :
اَلأَخْلَاقُ هِيَ صِفَاتُ اْلاِنْسَا نِ َالأَْ دَابِيَّةِ
Artinya : “ Akhlak ialah segala sifat manusia yang terdidik “ .
Memahami ungkapan tersebut diatas dapat dimengerti bahwa “ Akhlak “ (أَخْلاَقٌ ) adalah sifat ( potensi ) yang dibawa setiap manusia sejak lahir : artinya, sifat ( potensi ) tersebut sangat tergantung dari cara pembinaan dan pembentukannya. Apabila pengaruhnya itu positif maka outputnya adalah akhlak mulia dan sebaliknya apabila pembinaannya itu negatif, yang terbentuk adalah akhlak maz mumah ( tercela ) . Sebagaimana firman allah Swt berfirman dalam surat ( 91 ) Asy Syam ayat 8 yang berbunyi :
فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْۈهَا
Artinya : “ maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu ( jalan ) kefasikan dan ketakwaan “ .
Ada juga mengatakan akhlak menurut bahasa adalah Secara bahasa kata akhlak berasal dari akar kata bahasa Arab (الخَلْقُ) yaitu gerakan dan sikap lahiriyah yang dapat diketahui dengan indera penglihat, dan juga berasal dari (الخُلْقُ) yaitu perangai dan sikap mental yang dapat diketahui dengan bashiroh (mata hati).
2. Akhlak Menurut Istilah
a) Imam Al-Ghazali menyebut akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa . Daripada jiwa itu ,timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melakukan pertimbangan fikiran.
b) Prof. Dr. Ahmad Amin mendefinasikan akhlak sebagai kehendak yang dibiasakan . Maksudnya, sesuatu yang mencirikan akhlak itu ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu apabila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlak. Ahmad Amin menjelaskan erti kehendak itu ialah ketentuan daripada beberapa keinginan manusia. Manakala kebiasaan pula ialah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukanya. Daripada kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan ke arah menimbulkan apa yang disebut sebagai akhlak.
c) Ibnu Maskawayh mengatakan akhlak ialah suatu keadaan bagi diri atau jiwa yang mendorong (diri atau jiwa itu) untuk melakukan perbuatan dengan senang tanpa didahului oleh daya pemikiran kerana sudah menjadi kebiasaan.
B. URGENSI AKHLAK DALAM ISLAM
Islam menempatkan akhlak dalam posisi yang sangat signifikan yang harus dipegang teguh para pemeluknya, sampai-sampai perilaku yang baik menjadi tolak ukur bagi kualitas kebaikan seseorang. Rasulullah SAW pernah ditanya oleh seorang sahabat yang bernama An-Nawwas r.a. :
Dari Anwwas bin Sim`an Al-Anshari berkata; Saya bertanya kepda Rasulullah SAW mengenai (apa itu) kebajikan dan dosa, maka beliau menjawab : "Al Bir (kebajikan (itu adalah) husnul khuluq (perilaku yang baik) dan dosa (itu adalah) setiap yang meragukan dalam hatimu dan kamu benci (apabila) orang lain mengetahuinya.(HR: Muslim 2553. Tirmidzi 2389 dan Ad-Darimi 2789).
Seorang tidak dikatakan cinta kepada kebaikan sebelum ia mewarnai dirinya dengan perilaku yang baik, karena husnul khuluq -sebagaimana yang
dijelaskan dalam hadits diatas- merupakan cerminan lahiriah yang harus melekat dari seseorang yang mengaku cinta kepada kebajikan.
Bahkan, perilaku yang baik (husnul khuluq) ini merupakan barometer (ukuran) dari keimanan seseorang. Dengan kata lain keimanan seseorang dapat dinilai dari kualitas akhlak yang bersangkutan. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Bersabda Rasulullah SAW : "Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik (interaksinya) akhlaknya terhadap wanita (istri)nya." (HR:Tirmidzi 1162 dan Ahmad 7396).
Artinya keimanan seseorang belum bisa dikatakan tepat, sempurna dan sampai kepada sasaran apabila yang bersangkutan belum mewarnai dirinya dengan perilaku-perilaku yang baik). Dan konsistensi akhlak seseorang dapat dilihat dalam interaksinya di tengah-tengah keluarganya, karena bisa jadi ia dipandang baik oleh masyarakat sekitarnya, tetapi ia arogan terhadap anak dan istri (keluarga)nya.
Ajaran Islam dalam seluruh aspeknya selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang baik/mulia/agung. Karena memang misi asasi dari diutusnya Nabi Muhammad SAW kepada umat manusia dengan ajarannya yaitu Islam, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia .


C. MACAM-MACAM AKHLAK
Secara umum akhlak terbagi dua macam yaitu akhlak baik dan buruk, namun dalam pembahasan kami akan membahas tentang akhlak baik saja yaitu
1. akhlak hasanah
Akhlak hasanah ini bila mana kita artikan dalam bahasa indonesa yaitu perilaku yang baik / bagus. Adapun contoh akhlak hasanah ini seperti pemaaf, penyantun, , sabar, rohmah (kasih sayang), lemah lembut dan lainnya.
2. akhlak karimah
Akhlak karimah ini bila mana kita lihat dari bahasa Indonesia adalah perilaku yang mulia contohnya Jujur – Menghindari Perbuatan Dusta ( Bohong ) dan Amanah
3. akhlak adhimah
Akhlak adhimah bila mana kita artikan dalam bahasia Indonesia yaitu perilaku yang agung Salah satunya adalah murah hati (kedermawanan).


















BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Akhlak adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau individu baik itu akhlak baik maupun akhlak buruk. Akhlak secara etimologi perkataan “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) berasal dari bahasa Arab jama’ dari “ Khuluqun “ ( خُلُقٌ ) yang menurut lughat diartikan adat kebiasaan ( al-adat ), perangai, tabi’at ( al-sajiyyat ), watak ( al-thab ), adab / sopan santun ( al-muru’at ), dan agama ( al-din ) . Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “ Khalqun “ ( خَلْقٌ ) yang berarti kejadian,

Menurut para ahli akhlak secara terminalogi adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan sesuatu perbuatan secara spontan, tanpa pemikiran atau pemaksaan. Dan sering pula yang dimaksud akhlak adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik atau buruk atau dengan kata lain akhlak adalah potensi yang tertanam dalam jiwa seseorang yang mampu mendorongnya untuk berbuat baik dan buruk tanpa di dahului oleh pertimbangan akal dan emosi, maksudnya ialah perbuatan itu sudah menjadi kebiasaaan sehingga menjadi kepribadian . Bahkanah akhlak juga disebut ilmu tingkah laku / perangai ( ilm al-suluk ), atau tahzib al-akhlak ( falsafat akhlak ), atau al-hikmat al-amaliyyat, atau al-hikmat al-hulukiyyat. Yang dimaksud dengan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang keutamaan-keutamaan dan cara memperolehnya, agar jiwa menjadi bersih dan pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa untuk mensucikannya .

Islam menempatkan akhlak dalam posisi yang sangat signifikan yang harus dipegang teguh para pemeluknya, sampai-sampai perilaku yang baik menjadi tolak ukur bagi kualitas kebaikan seseorang, karena tujuan dari sebuah pendidikan yaitu akhlak.
Akhlak yang baik adalah akhlak hasnah, akhlak karimah dan akhlak adhimah pada dasarnya akhlak ini mempunyai kesamaan yaitu mencari keridhaan Allah Semata-mata , karena akhlak sebagai jalan atau jalan dalam pencapai tersebut

B. SARAN
Makalah ini merupakan suatu media buat kita untuk memahami akhlak untuk diri kita sendiri dan lebih khusus bagi para pendidik , karena akhlak merupakan salah indikator keberhasilan seorang pendidikan yang bukan hanya di titik beratkan kepada intelektualitas saja.





























DAFTAR PUSTAKA
Rahman ritonga, akhlak merakit hubungan dengan sesame manusia, Amelia, Surabaya,2005,
http://sugiartoagribisnis.wordpress.com/2010/04/08/akhlakul-karimah-dan-pengertiannya/
http://alfutuchat.wordpress.com/2010/06/24/1-pengertian-akhlak-menurut-bahasa/http://nurulilmi.com/maudhui/ahlaq-a-adab/302-keutamaan-akhlak.htmlhttp://aliasppd.tripod.com/pengertianakhlak.htmhttp://members.tripod.com/qalbun_salim/menujuhatiyangbersih/id3.html

2010/11/09

KEESAAN ALLAH SWT DALAM SURAH AL-IKHLAS

PEMBAHASAN
    

1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa”.
Abu Rauq meriwayatkan dari Adh-Dhahhak bahwa orang-orang musyrik mengutus Amir bin Tufail kepada Nabi Muhammad s.a.w. untuk menyampaikan amanah mereka kepada beliau. Ia berkata: “Ya Muhammad, Engkau telah memecahbelah keutuhan kami, memaki-maki “tuhan” kami, mengubah ajaran agama nenek moyangmu. Jika engkau miskin dan mau kaya kami berikan engkau harta. Jika engkau gila kami obati. Jika engkau ingin wanita cantik akan kami kawinkan engkau dengannya”. Nabi Muhammad s.a.w. pun menjawab: “Aku tidak miskin, tidak gila, tidak ingin kepada wanita. Aku adalah Rasul Allah yang mengajak kamu sekalian untuk meninggalkan penyembahan berhala dan mulai menyembah Allah Yang Maha Esa”. Kemudian mereka mengutus utusannya yang kedua kalinya dan bertanya kepada Rasulullah s.a.w.: “Terangkanlah kepada kami macam Tuhan yang engkau sembah itu. Apakah Dia dari emas atau perak?”, lalu Allah menurunkan surat ini. (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, 4/470)
Surat ini meliputi dasar yang paling penting dari risalah Nabi s.a.w., yaitu mentauhidkan Allah dan menyucikan-Nya serta meletakkan pedoman umum dalam beramal sambil menerangkan amal perbuatan yang baik dan yang jahat, menyatakan keadaan manusia sesudah mati mulai dari sejak berbangkit sampai dengan menerima balasannya berupa pahala atau dosa.
Telah diriwayatkan dalam hadis, “Bahwa surat ini sebanding dengan sepertiga al-Quran,” karena barang siapa menyelami artinya dengan bertafakur yang mendalam, niscaya jelaslah kepadanya bahwa semua penjelasan dan keterangan yang terdapat dalam Islam tentang tauhid dan kesucian Allah dari segala macam kekurangan merupakan perincian dari isi surat ini.
Pada ayat ini Allah menyuruh Nabi-Nya menjawab pertanyaan orang-orang yang menanyakan tentang sifat Tuhannya, bahwa Dia adalah Allah Yang Maha Esa, tidak tersusun dan tidak berbilang, karena berbilang dalam susunan zat berarti bahwa bagian kumpulan itu memerlukan bagian yang lain, sedang Allah sama sekali tidak memerlukan sesuatu apapun. Tegasnya keesaan Allah itu meliputi tiga hal: Dia Maha Esa pada zat-Nya, Maha Esa pada sifat-Nya dan Maha Esa pada af’âl (perbuatan)-Nya.
Maha Esa pada zat-Nya berarti zat-Nya tidak tersusun dari beberapa zat atau bagian. Maha Esa pada sifat-Nya berarti tidak ada satu sifat makhlukpun yang menyamai-Nya dan Maha Esa pada af’al-Nya berarti hanya Dialah yang membuat semua perbuatan sesuai dengan firman-Nya.
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. (QS Yasin, 36: 82).
  

2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.

Pada ayat ini Allah menambahkan penjelasan tentang sifat Tuhan Yang Maha Esa itu, yaitu Dia adalah Tuhan tempat meminta dan memohon.
    
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa Maha Suci Dia dari mempunyai anak. Ayat ini juga menentang dakwaan orang-orang musyrik Arab yang mengatakan bahwa malaikat-malaikat adalah anak-anak perempuan Allah dan dakwaan orang Nasrani bahwa Isa anak laki-laki Allah.
Dalam ayat lain yang sama artinya Allah berfirman:
Tanyakanlah (ya Muhammad) kepada mereka (orang-orang kafir Mekah) “Apakah untuk Tuhanmu anak-anak perempuan dan untuk mereka anak-anak laki-laki, atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan dan mereka menyaksikan (nya)? Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan: “Allah beranak”. Dan sesungguhnya mereka benar-benar orang yang berdusta. (QS ash-Shaffât, 37: 149-152).
Dan Dia tidak beranak, tidak pula diperanakkan.
Dengan demikian Dia tidak sama dengan makhluk lainnya, Dia berada tidak didahului oleh tidak ada. Maha suci Allah dari apa yang tersebut.
Ibnu ‘Abbas berkata: “Dia tidak beranak sebagaimana Maryam melahirkan Isa a.s., dan tidak pula diperanakkan. Ini adalah bantahan terhadap orang-orang Nasrani yang mengatakan Isa Al-Masih adalah anak Allah dan bantahan terhadap orang-orang Yahudi yang mengatakan Uzair adalah anak Allah.
   •  
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan lagi bahwa tidak ada yang setara dan sebanding dengan Dia dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya. Ini adalah tantangan terhadap orang-orang yang beri’tiqad (berkeyakinan) bahwa ada yang setara dan menyerupai Allah dalam perbuatannya, sebagaimana pendirian orang-orang musyrik Arab yang menyatakan bahwa malaikat itu adalah sekutu Allah.
Untuk meresapkan arti ketauhidan kepada Allah yang terkandung dalam surat al-Ikhlash, kita harus membaca dengan motivasi tinggi untuk memahaminya dengan bekal iman dan ilmu yang memadai. Dan yang paling penting adalah: “adanya keseriusan untuk menjadikannya sebagai pijakan beramal”. Karena kandungan makna “lâ ilâha illallâh“, hanya akan dapat menggerakkan diri kita untuk menjadi “muslim kâffah” ketika kita mampu membacanya sepenuh hati. Seperti ungkapan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bâri, mengutip perkataan Ibnu Ishak, ketika Rasulullah s.a.w. mengutus al-Ala’ bin al-Hadhrami, beliau bersabda:
”Apabila engkau ditanya tentang kunci surga, katakanlah kuncinya adalah lâ ilâha illallâh (tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah).”
Dr. Shaleh bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan berkata, bahwa sebanyak apa pun kalimat lâ Ilâha illallâh dibaca, tidak akan memberikan manfaat sedikit pun kepada yang mengucapkannya, kecuali telah memenuhi tujuh syarat:
Pertama, mengetahui maknanya. Yakni, mengetahui makna yang meniadakan dan yang menetapkan. Oleh karena itu, siapa saja yang mengucapkan lâ Ilâha illallâh, sedangkan ia tidak mengerti makna dan apa yang menjadi tuntutannya, maka ucapannya tidak akan bermanfaat baginya. Sebab, jangankan yakin dengan apa yang diucapkannya, tahu artinya saja tidak. Ini sama dengan orang yang berbicara dengan suatu bahasa, namun ia tidak paham bahasa itu.
Kedua, disertai keyakinan. Keyakinan adalah bentuk kesempurnaan pengetahuan. Dan dengan keyakinan ini setiap bentuk keraguan dan kebimbangan akan dihilangkan.
Ketiga, dibarengi keikhlasan. Keikhlasan akan meniadakan segala bentuk kesyirikan. Dan keikhlasan inilah yang dikehendaki dari lâ Ilâha illallâh.
Keempat, kejujuran. Kejujuran akan mencegah timbulnya kemunafikan. Seperti mereka mengucapkan lâ Ilâha illallâh dengan mulut mereka, sementara hatinya tidak meyakini maknanya.
Kelima, mencintai kalimat itu, sehingga, ketika mengucapkannya wajahnya tampak berseri. Dengan demikian, berbeda dengan wajah yang diperlihatkan oleh orang-orang munafik.
Keenam, tunduk untuk melaksanakan hak-hak lâ ilâha illallâh. Yaitu melaksanakan amal-amal wajib, ikhlas karena Allah dan hanya mencari ridha-Nya. Dan demikian inilah tindakan yang dikehendaki dari lâ Ilâha illallâh.
Ketujuh, adanya penerimaan yang meniadakan bentuk penolakan. Hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi setiap larangan-Nya.
Inilah syarat-syarat yang telah digali oleh para ulama dari al-Quran dan sunah agar lâ Ilâha illallâh dapat menjadi kunci yang akan membuka pintu surga.
SUMBER http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/?p=772

 

© 2013 Blog Pendidik Barsel. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top